4 Alasan Kenapa Indonesia Butuh Game Rating Sendiri

Dengan game rating industri game Indonesia sudah siap mengejar negara lain lho

4 Alasan Kenapa Indonesia Butuh Game Rating Sendiri

Sistem game rating selalu ada di setiap negara yang sudah cukup maju industri game nya, di beberapa negara tersebut kita mengenal sistem rating CERO dari jepang, ESRB dari Amerika dan PEGI untuk Eropa. Kalau dilihat latar belakangnya tujuan dari pembentukan masing masing sistem rating tersebut tidak lepas dari maksud untuk menyediakan konten yang sesuai untuk pemirsa di masing masing negara / wilayah tersebut.

Sebagai negara yang konsumen produk game nya sudah mencapai puluhan juta orang, inilah alasan kenapa kita harus sudah mulai menciptakan sistem penilaian sendiri.


[page_break no="4" title="Membantu Masyarakat Percaya"]


4 Alasan Kenapa Indonesia Butuh Game Rating Sendiri

Untuk menjelaskan hal ini saya mengambil salah satu contoh yang terjadi pada konsumsi produk makanan, Manakah yang kita akan pilih konsumsi,  produk yang sudah mempunyai ijin BPOM atau yang belum mempunyai ijin ?. Mungkin ini analogi yang tidak sempurna karena produk makanan berbeda dengan konten game, namun demikian tidaklah salah beranggapan bahwa masyarakat akan lebih percaya terhadap segala sesuatu yang sudah dijamin oleh lembaga yang memiliki otoritas.

Dengan melabeli produk game maka pemerintah akan turun tangan menjamin kesesuaian dari suatu produk yang akan dikonsumsi masyarakat. Kami percaya bahwa turun tangannya pemerintah ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk game di indonesia yang pada akhirnya berpotensi mengakselerasi pertumbuhan industri.


[page_break no="3" title="Budaya nya Lain"]


4 Alasan Kenapa Indonesia Butuh Game Rating Sendiri

Meskipun ini tentang budaya, saya akan skip segala sesuatu tentang budaya "ketimuran".  Saya lebih percaya ambang batas "wajar" terhadap suatu produk budaya akan bergeser seiring waktu, contohnya adalah sekitar 10 tahun lalu amat sulit menemukan sejoli yang peluk pelukan di tempat umum, tapi sekarang sih biasa saja. Di masa yang tidak terlalu jauh kedepan mungkin tindakan yang lebih jauh-contoh : ciuman akan menjadi pemandangan yang wajar.

Namun demikian di indonesia ada beberapa hal yang secara built in kita sangat tidak toleran, contohnya LBGT, saya percaya sampai masa hidup kita usai, urusan ini tidak akan dianggap wajar oleh masyarakat, bahkan kalaupun nantinya diperbolehkan oleh pemerintah. Ada juga hal fundamental lain dimana kita semakin toleran terhadap isu rasial, sebutan cina, onta, item, ambon, tokek, bulus dan hewan hewan lain itu sangat biasa, bahkan mengarah ke ledekan biasa saja dan bukan SARA

Kondisi tersebut secara praktis menjadikan kita sangat berbeda dengan negara lain yang telah menerapkan sistem rating. Oleh karena itu perbedaan persepsi terhadap budaya tersebut harus diwadahi dengan rangkaian sistem rating yang didesain khusus untuk Indonesia.


[page_break no="2" title="Sudah ada Sistem Rating Yang Sudah Berjalan"]


4 Alasan Kenapa Indonesia Butuh Game Rating Sendiri

Memang sih, dulu hadirnya LSF ini sangat lekat dengan kebijakan di masa orba yang otoriter, terutama mengenai konten. namun seiring berkembangnya waktu rasanya semangatnya sedikit banyak sudah bergeser. Sekarang semangatnya lebih condong ke melindungi kepentingan masyarakat banyak. Lebih jauh lagi, menurut penelusuran kami lembaga ini relatif sukses , memang sih standarnya saya rasa cukup bergeser. Dulu jika ada adegan agak mesra sedikit pasti dipotong dan diganti pemandangan. Kalau sekarang rasanya asal tidak terlalu intim cukup dipotong seperlunya. hehehe

Dengan kesuksesan lembaga tersebut menjadi benteng konten film, kenapa tidak dikembangkan sedikit lebih jauh ke konten permainan interaktif. Penambahan fungsi ini juga rasanya rasanya jauh lebih efisien daripada menambah lembaga baru.


[page_break no="1" title="Industri Sudah Siap"]


4 Alasan Kenapa Indonesia Butuh Game Rating Sendiri

Dengan potensi pasar mencapai $490 Juta dollar, Industri game indonesia rasanya sudah cukup siap untuk mulai masuk dalam fasa ratingisasi ini. Sebagai pembanding, Australia yang industrinya baru mencapai $900 juta dollar pada tahun 2007 sudah mengimplementasikan sistem rating pada tahun 1970 an.

Selain ukuran pasar, di Indonesia pelaku bisnisnya juga sudah cukup banyak, menurut catatan kami per 2014 ini sudah ada lebih dari 25 game publisher dan 100 game developer yang pernah mengadu peruntungan di kancah dunia game Indonesia. Jumlah yang sudah cukup banyak ini tentu menjadikan struktur persaingan pasar sempurna, yang berarti sudah siap untuk berkembang lebih jauh.

Proteksi non tarif juga merupakan isu yang penting, dengan mengimplementasikan kebijakan ini kita bisa mendorong produk game luar yang ingin memasarkan produk di Indonesia untuk mengadopsi konten lokal. Sehingga dengan demikian mau tidak mau budaya kita akan berkembang melalui media game.

Artikel terkait

ARTIKEL TERBARU