Gaming Disorder Menjadi Penyakit Mental yang Terdaftar di WHO

Bermain game memang akan menjadi hal yang mengasyikan, apalagi setelah kita lelah belajar atau bekerja. Game dipercaya menjadi obat mujarab untuk sebagian orang agar pikiran mereka kembali segar. Tapi di samping itu, ada sebuah penyakit mental bernama gaming disorder yang mengintai para gamer.

Gaming Disorder Menjadi Penyakit Mental yang Terdaftar di WHO

Gaming Disorder Menjadi Penyakit Mental yang Terdaftar di WHO Source: RNN[/caption]

Bermain game memang akan menjadi hal yang mengasyikan, apalagi setelah kita lelah belajar atau bekerja. Game dipercaya menjadi obat mujarab untuk sebagian orang agar pikiran mereka kembali segar dan bisa memunculkan ide-ide baru dalam pekerjaan. Tapi disamping itu, ada sebuah penyakit mental bernama gaming disorder yang mengintai para gamer.

Salah satu aktivitas yang paling dicintai adalah bermain game. Bermain game menjadi salah satu aktivitas rutin yang dilakukan sebagian orang untuk mengusir kejenuhan sehabis melakukan pekerjaan yang padat. Bahkan tak jarang orang-orang yang sedang buntu ide langsung bermain game demi mendapatkan ide mereka kembali.

[read_more link="https://www.duniaku.net/2018/01/11/musuh-paling-besar-di-game/" title="5 Musuh Paling Besar yang Ada di Video Game, Mana Favorit Kalian?"]

Bagi saya pribadi, bermain game bukan sekadar untuk mengusir penat. Lebih dari itu, bermain game terkadang menjadi sebuah pembelajaran untuk saya terlebih lagi bila game tersebut ditujukan untuk orang-orang dewasa. Tentunya pembelajaran yang positif.

Bermain game beberapa jam selama seminggu bisa membuat pikiran fresh dan mood kita menjadi baik, setidaknya saya mengalaminya sendiri. Tapi apakah bermain game berlebihan bisa membuat pikiran dan mood kita semakin baik? Tentu jawabannya tidak.

Segala sesuatu yang berlebihan akan berubah menjadi hal yang negatif, apalagi bila kita melakukannya tanpa tujuan. Bila seorang gamer yang hobi main game delapan jam sehari untuk menjadi atlet eSport dan akhirnya sukses, itu tidak masalah.

[read_more link="https://www.duniaku.net/2018/01/10/game-pc-berat/" title="5 Game yang Membuat PC Bertekuk Lutut karena Saking Beratnya!"]

Namun apabila orang tersebut tidak menjadi atlet eSport dan malah menyia-nyiakan hidupnya, orang tersebut mungkin sudah bisa dikategorikan masuk ke dalam salah satu penyakit mental bernama gaming disorder. Penasaran seperti apa sih penyakit gaming disorder ini?

Duniaku.net akan langsung memabahasnya, terlebih lagi penyakit ini sudah masuk ke dalam salah satu penyakit mental di salah satu organisasi yang bernaung di PBB bernama World Health Organization (WHO) lho.

[page_break no="1" title="Seputar Gaming Disorder"]

Gaming Disorder Menjadi Penyakit Mental yang Terdaftar di WHO Source: Newslocker.com[/caption]

Gaming disorder merupakan penyakit mental yang membuat penggunanya lebih mementingkan game daripada hidupnya sendiri. Tidak peduli dengan game online ataupun offline, bila ada gamer yang lebih mementingkan game daripada yang lainnya maka sudah bisa dikategorikan sebagai orang yang terjangkit penyakit ini.

[read_more link="https://www.duniaku.net/2018/01/08/game-yang-membuat-kita-merasa-seperti-superhero/" title="Pingin Merasa Jadi Superhero? Mainkan 5 Game Keren Ini!"]

Selain itu, biasanya penyakit ini akan berlanjut semakin parah dari hari ke hari dengan kontinuitas yang tinggi dan akhirnya membuat si penderita mengalami hal-hal yang negatif di dalam hidupnya misalkan mencuri, begadang, tidak pernah makan, dan kurang bersosialisasi.

Biasanya, hal-hal negatif yang dilakukan akan terus dilakukan berulang-ulang setidaknya selama satu tahun.

Di berita-berita, memang banyak hal negatif yang terjadi bila seseorang sangat kencanduan game. Bahkan yang paling gila adalah beberapa di antaranya berakhir meninggal dunia. Mengenai gaming disorder ini telah dilakukan berbagai penelitian dan menjadi pembahasan yang sering dibahas akhir-akhir ini.

[page_break no="2" title="Perdebatan Seputar Gaming Disorder"]

Gaming Disorder Menjadi Penyakit Mental yang Terdaftar di WHO Source: Cognitioner.com[/caption]

Masuknya penyakit ini menjadi salah satu penyakit mental yang tercatat resmi di WHO memunculkan banyak perdebatan dari kalangan ilmuan, khususnya bagi mereka yang memiliki latar belakang psikologi. Beberapa ilmuwan setuju dengan penyakit ini namun sebagiannya lagi tidak.

Salah satu yang menentang adalah Ferguson yang merupakan salah satu pakar di bidang psikologis. Menurutnya apa yang dilakukan WHO terkait penyakit ini sangat berlebihan. "Saya tidak yakin bahwa proposal milik WHO ini mencerminkan konsensus nyata di lapangan," tuturnya.

[read_more link="https://www.duniaku.net/2018/01/08/capcom-vs-snk/" title="Nostalgia Yuk: Game Fighting PS1 Legendaris Capcom vs SNK!"]

"Sebagian orang setuju dengan hal itu. Namun banyak juga yang tidak setuju," pungkasnya. Berbeda dengan Ferguson, salah satu ilmuwan lainnya bernama Douglas A Gentile justru setuju bila gaming disorder dikategorikan sebagai penyakit mental.

"Semakin banyak dibahas, maka semakin banyak juga cara untuk menanggulangi penyakit seperti ini," tutur Gentile. Gentile sendiri bukanlah orang sembarang yang asal bicara mengenai penyakit ini. Profesor psikologi di Iowa State University ini telah menjalani penelitian soal gaming disorder dari tahun 1999.

"Awalnya saya memang menganggap bahwa itu bukanlah sebuah masalah. Namun semakin saya meneliti dan melihat, terlihat juga masalah yang semakin banyak terjadi," ungkapnya.

[read_more link="https://www.duniaku.net/2018/01/05/wonderkid-dengan-rating-tinggi-di-pes-2018/" title="5 Wonderkid dengan Rating Tertinggi di PES 2018"]

Menepis anggapan milik Gentile, Ferguson akhirnya menyuruh agar WHO untuk melakukan penelitian atau berdiskusi langsung dengan developer game atau dengan gamer sendiri. Karena Ferguson menganggap banyak sekali orang yang berprestasi setelah mengabdikan dirinya untuk bermain game.

Selain itu Ferguson menuturkan bahwa perilaku gamer sendiri berubah-ubah. "Jika kalian melakukan tes kepada orang dua kali, misalnya selama enam bulan orang tersebut akan kecanduan game. Namun pada enam bulan berikutnya perilaku mereka akan berubah,"

[page_break no="3" title="Pesan untuk Gamer"]

Sekarang kita kesampingkan dulu perdebatan soal apakah gaming disorder ini relevan atau tidak. Intinya adalah bahwa untuk bermain game kita harus membatasi waktu "seperlunya." mengapa saya memberikan tanda kutip? Karena "seperlunya" bagi setiap orang adalah berbeda-beda.

Bila kalian atlet eSport atau hanya seorang gamer enthusiast, ada baiknya kalian juga mengimbangi hidup kalian dengan hal-hal yang semestinya seperti bersosialisasi, makan cukup, tidur cukup, dan menyelesaikan kewajiban misalnya pendidikan untuk yang masih sekolah.

Karena pada dasarnya game tidak pernah membuat hidup seseorang hancur. Justru kita sendirilah yang membuat hidup kita hancur. Jadi, lakukan manajemen waktu sebaik mungkin bila ingin bermain game.

Diedit oleh Doni Jaelani

Artikel terkait

ARTIKEL TERBARU