Review Annihilation: Keganjilan yang Mengubah Dasar Makhluk Hidup

Film ini batal tayang di Indonesia karena dinilai terlalu pintar untuk penonton awam. Didukung oleh visual megah dan tema yang berani, Annihilation membawa teka-teki yang terus menghantui bahkan setelah filmnya selesai. Review berikut ini bebas spoiler.

Review Annihilation: Keganjilan yang Mengubah Dasar Makhluk Hidup

Didukung oleh visual megah dan tema yang berani, Annihilation membawa teka-teki yang terus menghantui bahkan setelah filmnya selesai. Review berikut ini bebas spoiler.

Sinopsis

Sebuah meteor jatuh tepat di atas mercusuar antah-berantah. Kubah warna-warni kemudian mengelilingi lokasi jatuhnya meteor. Seiring berjalannya waktu, kubah tersebut membesar. Berkali-kali tim ekspedisi diluncurkan, dari mulai personel militer, binatang, hingga pesawat tanpa awak, semuanya tidak ada yang kembali.

Lima orang peneliti wanita diterjunkan untuk menguak misteri daerah terlarang bernama The Shimmer tersebut. Mereka adalah Lena (Natalie Portman), ahli biologi; Dr. Ventress (Jennifer Jason Leigh), psikolog; Anya (Gina Rodriguez), paramedis; Josie Radek (Tessa Thompson), fisikawati; dan Cass Sheppard (Tuna Novotny), ahli geologi.

Dalam ekspedisi menguak misteri The Shimmer tersebut, mereka menemukan kejanggalan-kejanggalan mengerikan di luar akal sehat, bahkan lewat pandangan mereka sebagai ilmuwan.

Annihilation Terlalu Pintar untuk Orang Awam.”

Review Annihilation: Keganjilan yang Mengubah Dasar Makhluk Hidup

Annihilation ini meninggalkan perjalanan yang panjang dan melelahkan sebelum dapat kita tonton sekarang. Menjadi film fiksi-sains paling ditunggu-tunggu oleh baik para penikmat film dan pencinta fiksi-sains, Annihilation sebenarnya tidak direncanakan untuk tayang di Netflix mulai 12 Maret kemarin.

Annihilation sebelumnya dinaungi oleh studio Paramount, yang akan mendistribusikannya untuk diputar di bioskop-bioskop seluruh dunia. Sayangnya, hasil test screening-nya buruk, sehingga Paramount batal menayangkannya di seluruh dunia dengan hanya menyisakan bioskop-bioskop Amerika dan Cina. Menurut Paramount, Annihilation “terlalu pintar untuk dicerna orang awam”, lalu mereka menjual hak distribusinya ke Netflix.

Paramount trauma berjudi dengan film-film berisiko tinggi setelah film mereka tahun lalu, mother! (Darren Aronofsky) keok di pasaran. Keputusan mereka batal menayangkan Annihilation di bioskop internasional pun sebenarnya tidak salah. Sejak dirilis di Amerika pada 23 Februari lalu hingga 14 Maret kemarin, Annihilation hanya mampu meraih pendapatan $27 juta, masih jauh di bawah budget-nya yang sebesar $40 juta.

Menontonnya di rumah lewat layar televisi atau ponsel sebenarnya tidak masalah, apalagi Annihilation ini seru ditonton di tempat private sambil menghayati visual dan musik latarnya yang atmosferik. Akan tetapi, sutradara Alex Garland mengatakan film ini diciptakan untuk ditonton di layar lebar. Dan ia benar.

Visual Cantik dan Tema yang Berani

Review Annihilation: Keganjilan yang Mengubah Dasar Makhluk Hidup Sumber: Youtube[/caption]

Alex Garland bukan orang baru dalam dunia fiksi-sains. Ia sudah dikenal lewat film-filmnya seperti 21 Days Later... (2002) dan Dredd (2012). Film terakhirnya sebelum Annihilation adalah film bertema futuristik dengan robot dan artificial intelligence, Ex Machina (2014). Ex Machina sukses baik komersil maupun rating kritikus dengan memenangi kategori Best Visual Effects dan dinominasikan di kategori Best Original Screenplay.

Mengulangi kemahirannya dalam menyutradarai film, Alex Garland membuat Annihilation, film tentang daerah terlarang yang diadaptasi dari novel berjudul sama oleh Jeff VanderMeer.

Visual Annihilation seperti ada di dalam mimpi dengan musik latarnya yang seperti menghantui. Ia diciptakan untuk menjadi atmosferik, seakan-akan membawa penonton untuk merasakan seperti apa berkelana di daerah terlarang yang dipenuhi hal-hal ganjil.

Daerah terlarang yang dinamai The Shimmer itu sebenarnya terlihat seperti hutan dan rawa biasa saja, namun cahaya yang memantul seperti sinar matahari di sana berwarna-warni, membuatnya tampak seperti karya seni psychedelic. Para karakter di dalamnya seperti berhalusinasi. Mereka melihat berbagai anomali, seperti beragam jenis bunga di batang yang sama hingga buaya rawa yang bergigi ikan hiu.

Garland mengemas Annihilation sebagai sebuah thriller. Ia dipenuhi oleh gambar-gambar cantik, apalagi didukung oleh sinematografi dan desain produksi yang ciamik. Meskipun begitu, ada sensasi tidak menyenangkan yang selalu timbul, seakan-akan menciptakan sebuah keadaan di mana teror bisa muncul kapan dan di mana saja.

Annihilation membawa konsep fiksi-sains tingkat tinggi tentang hal-hal dasar yang membentuk makhluk hidup: sel dan kaitannya dengan genetika dan kecenderungan makhluk hidup untuk merusak dirinya sendiri.

Konsep fiksi-sains yang rumit itu kemudian juga didukung oleh olah peran para aktor dan aktrisnya. Oscar Isaac, yang berperan menjadi suami Lena, mampu membawa nuansa muram, sama bagusnya ketika ia ikut berperan dalam film Garland sebelumnya, Ex Machina. Kualitas akting para penelitinya juga meyakinkan, terutama Jennifer Jason Leigh sebagai psikolog Dr. Ventress yang sosiopat dan Tessa Thompson sebagai ahli fisika Josie Rodek yang depresif.

Review Annihilation: Keganjilan yang Mengubah Dasar Makhluk Hidup Sumber: Entertainment Weekly[/caption]

Sementara itu, dari semua aktor dan aktris yang disebut di atas, tidak ada yang bisa mengalahkan betapa dominannya Natalie Portman sebagai Lena. Di satu sisi ia adalah peneliti perempuan jagoan, sementara di sisi lain ia rapuh saat dihadapkan pada suaminya. Semua itu berhasil Portman lakukan sambil mempertahankan karakteristiknya yang misterius dan penuh teka-teki.

Garland membuat Annihilation bergerak lambat dari satu adegan ke adegan lainnya, sambil berusaha menyembunyikan apa yang sedang dan akan terjadi. Ia jadi terlihat membosankan pada awalnya bagi sebagian orang, apalagi dialog-dialognya terdengar menyebalkan karena berusaha agar tampak misterius.

Meskipun begitu, keunggulan dari apa yang ditawarkan Annihilation terletak pada sepertiga akhir film. Semua hal yang barangkali tampak membosankan di awal seakan-akan terbayarkan di 30 menit terakhir yang menakutkan itu.

Bagaimana misteri-misteri yang ada di film ini? Simak di halaman selanjutnya!

Tidak Ada Niat untuk Menjawab

Review Annihilation: Keganjilan yang Mengubah Dasar Makhluk Hidup

Annihilation memang tampak kabur bagi banyak orang. Ia tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kian muncul. Ia bukan saja tidak tertarik, ia bahkan tidak ada niat untuk memberi jawaban. Berbeda dengan film fiksi-sains blockbuster yang terjebak dalam penjelasan gamblang, Annihilation justru memaksa penonton untuk memperhatikan dan merasakan adegan demi adegan. Pesan utamanya tidak disampaikan lewat permukaan, melainkan lewat cara-cara subtil di baliknya.

Plot, tema, dan sikap seperti itulah yang membuat Annihilation berdiri tegak di antara film-film fiksi-sains lain. Alex Garland membuat sesuatu yang berani, apalagi dengan skala produksi film sebesar Annihilation ini. Ia tidak mudah dicerna seperti film-film blockbuster biasanya, namun ia juga terlalu besar untuk bisa disebut film arthouse. Keberaniannya itu diuji lewat gagalnya ia tayang di bioskop internasional dan lemahnya box office. Meskipun begitu, Garland dan Annihilation pantas untuk dikenang karena ia berbicara sesuatu yang besar dan ambisius.

Annihilation di permukaan adalah film fiksi-sains tentang kekacauan genetik dalam tingkatan absurd. Namun lebih dalam lagi, ia berbicara tentang tabiat dasar makhluk hidup: tentang sel dan sifat alamiah kita yang selalu merusak diri.

Manusia gemar merusak dirinya, contohnya merokok dan begadang semalam suntuk. Kita sebagai manusia tahu merokok itu berbahaya, namun orang-orang masih tetap melakukannya. Tidak hanya para pesakitan, orang-orang yang merasa telah hidup berkecukupan dan bahagia juga tak jarang melakukan hal yang sama. Mengapa kita cenderung untuk merusak diri, bahkan ketika hidup sudah sempurna? Hal itu sama seperti sel; tubuh kita lama kelamaan menjadi semakin mati, dari sejak lahir hingga masuk liang kubur, dan itu memang natural adanya.

Annihilation sebenarnya berbicara lebih banyak daripada sekadar self-destruct. Namun, hal-hal tersebut murni interpretasi penonton. Banyak hal yang kita tidak ketahui dari Annihilation, namun bukankah ketakutan datang dari sesuatu yang tidak kita ketahui?

Oleh karena sedikitnya penjelasan mengenai apa yang terjadi pun ditambah film yang tak berniat menjawabnya membuat Annihilation bukan konsumsi semua orang. Ia barangkali mudah disukai para pencinta fiksi-sains, penyuka teka-teki, dan penggila teori konspirasi. Meskipun tidak semua bakal suka, Annihilation ini sayang untuk dilewatkan, sebab pengalaman menonton dan teka-tekinya yang membingungkan itu akan membuat penonton tertegun bahkan ketika film sudah berakhir.

Diedit oleh Doni Jaelani

Artikel terkait

ARTIKEL TERBARU