Review One Fine Day: Cinta Bersemi di Barcelona

Drama remaja ini yang cheesy ini sejatinya umpan manja untuk para fans Jefri Nichol. Simak alasannya dalam review One Fine Day berikut.

Review One Fine Day: Cinta Bersemi di Barcelona

Review One Fine Day: Cinta Bersemi di Barcelona

Drama remaja ini sejatinya umpan manja untuk para fans Jefri Nichol. Simak alasannya dalam review One Fine Day berikut.

Sebelum memulai review One Fine Day, ada baiknya kita melihat sedikit tentang faktor ekstrinsiknya. Sutradara, trailer, atau aktor mungkin salah satu faktor terbesar ketika kamu hendak memilih film untuk ditonton. Tetapi, cobalah sekali-kali untuk memperhatikan rumah produksinya.

[duniaku_baca_juga]

One Fine Day dirilis oleh Screenplay Films. Rumah produksi ini ada di balik film seperti Magic Hour (2015), London Love Story (2016), ILY from 38.000 Ft (2016), Headshot (2016), hingga Promise (2017). Kecuali Headshot, barangkali kita sudah bisa bisa menyesuaikan ekspetasi terhadap One Fine Day ini: kisah cinta remaja yang cheesy.

Sinopsis

Review One Fine Day: Cinta Bersemi di Barcelona

Bukan main nakalnya Mahesa (Jefri Nichol) ini. Tinggal di Barcelona, ia bermodal nekat. Bersama sobat karibnya, Dastan (Ibnu Jamil) dan Revan (Dimaz Andrean), mereka melakukan apa saja untuk bertahan hidup, seperti menipu para wanita dengan menjual tampang tampan Mahesa. Selain itu, mereka juga mengejar passion mereka dengan bermusik.

Hingga suatu ketika, Mahesa justru jatuh cinta pada seorang wanita yang sejatinya jadi target selanjutnya, Alana (Michelle Ziudith). Namun di tempat lain, Alana sedang menjalin hubungan dengan Danu (Maxime Bouttier). Usaha Mahesa juga semakin dipersulit dengan kehadiran Pak Abdi (Surya Saputra) sebagai bodyguard yang diutus Danu untuk selalu mengawasi Alana.

Fanservice untuk fans Nichol

Review One Fine Day: Cinta Bersemi di Barcelona

Pembahasan pertama review One Fine Day ini adalah soal premis. Premis yang dibawa One Fine Day cukup umum dan biasa, malah cenderung dangkal. Kisah yang dibawa tidak jauh-jauh dari kisah cinta segitiga Mahesa-Alana-Danu. Alana yang tidak nyaman menjalin hubungan dengan si anak manja nan posesif seperti Danu, menemukan dirinya jatuh hati pada Mahesa—yang diam-diam punya niat awal menipunya.

Sudah banyak, banyak sekali premis cerita macam ini telah diangkat dalam berbagai medium. Bahkan, sering hanya dijadikan subplot atau bagian dari cerita yang lebih besar.

Tetapi, Screenplay lewat produser Sukhdev Singh dan Wicky V. Olindo bersama sutradara Asep Kusdinar serta penulis naskah Sukhdev Singh dan Tisa TS memutuskan mengangkat premis sederhana ini dengan balutan nilai produksi yang diharapkan lebih menarik penonton: latar cerita di Barcelona, Spanyol.

One Fine Day tentunya film yang dibuat khusus untuk penonton wanita. Pertama, tokoh Alana yang digambarkan sangat normal dan relatable, seakan-akan ia adalah cerminan penonton.

Alana sering menjadi objek dari perbuatan para laki-laki (khususnya Mahesa dan Danu). Meskipun film ini diambil dengan sudut pandang orang ketiga, tetapi penonton dibuat melihat Mahesa dan Danu dari kacamata Alana. Kedua, sejumlah fanservice seperti baju terbuka, deretan gombalan, hingga Jefri Nichol sendiri.

Lewat Barcelona, One Fine Day menyajikan gambaran mimpi sebagian remaja. Para tokoh, khususnya Alana, Danu, bahkan Mahesa hidup mewah: makan di atas yacht, punya rumah yang bagus dan modern, serta yeah, sedikit latar belakang tentang kuliah di luar negeri. Namun dari sekian banyak kenikmatan hiburan tersebut, mereka belum merasakan “cinta yang sesungguhnya”.

Judul One Fine Day diambil dari frasa tersebut: satu hari di mana Alana (penonton) bisa merasakan berkasih-kasih bersama orang tersayang.

Berbicara tentang Barcelona, Michelle Ziudith sendiri bilang film ini memang secara keseluruhan mengambil latar di sana. Beberapa kali One Fine Day terlihat mengalami keterbatasan soal lokasi, seperti penggunaan tempat yang sama secara berulang-ulang. Ambil contoh pantai, ruang tamu rumah Alana, kontrakan fancy Mahesa, hingga kedai kopi.

Meskipun begitu, film ini sudah cukup berusaha dalam mengakali keterbatasan lokasi syuting. Misalnya dengan cara mengambil spot berbeda dalam satu lokasi (di pantai) atau menggunakan satu lokasi sebagai plot device (kedai kopi).

Sayangnya kemewahan tersebut tak dibarengi dengan fasilitas teknis yang cukup memuaskan. One Fine Day ketahuan memakai setidaknya tiga jenis kamera yang tentunya menghasilkan kualitas yang juga berbeda. Ada beberapa adegan saat Mahesa dan Alana bermain di suatu wahana, kualitas gambarnya terasa seperti diambil dengan menggunakan handycam.

Yang paling parah tentunya usaha terlalu keras dari film ini untuk mengambil aerial shot. Sudah banyak sekali film Indonesia yang terlalu maksa pakai drone dengan maksud mengambil gambar lansekap, misalnya Hangout (2016) dan Trinity, The Nekad Traveler (2017). Kualitasnya jomplang sekali. Maksud hati ingin gambar wow, tetapi justru gagal total. Makanya kemudian muncul pertanyaan, udah jauh-jauh dan mahal-mahal ke Barcelona, kok kualitas alatnya seperti itu?

One Fine Day menunggangi kesuksesan lagu Despacito dengan membuat lagu yang mirip sebagai lagu tema. Simak dalam review One Fine Day di halaman selanjutnya.

Review One Fine Day: Cinta Bersemi di Barcelona

One Fine Day juga berselancar di atas ombak ketenaran lagu Despacito. Despacito menjadi video musik pertama yang diputar lebih dari 4 miliar kali di Youtube. Di Indonesia, lagunya diputar di mana-mana. Hal ini sepertinya diperhatikan oleh Sceenplay dengan menciptakan lagu reggaeton-pop berbahasa Spanyol juga, Te Amo Mi Amor sebagai lagu tema.

One Fine Day tampaknya sangat percaya diri dengan lagu ini. Te Amo Mi Amor terus diputar mengiringi banyak adegan, meskipun tidak cocok dengan pesan yang disampaikan dalam gambar. Lagu ini sebenarnya adalah lagu andalan band Mahesa dkk. dalam film—yang mereka bawakan dengan dada telanjang dan berminyak karena keringat. Kapan lagi coba melihat Jefri Nichol shirtless membawakan lagu Spanyol sambil gombal-gombal manja?

Namun sayangnya, konsep umpan manja untuk para fans tersebut gagal dieksekusi lagi-lagi karena ketidakrapian dalam hal teknis. Misalnya, sinkronisasi antara gambar dengan suara yang sangat berantakan. Seringkali malah, lirik lagu Te Amo Mi Amor tidak sesuai dengan gerak mulut Jefri Nichol. One Fine Day juga sepertinya tidak tahu kapan harus mengakhiri lagu pengiringnya, sehingga bablas di adegan seterusnya.

Selain itu, pengaturan panggung oleh sutradara Asep Kusdinar tidak ubahnya sinetron. Para tokoh masih berbaris sejajar menghadap kamera. Barangkali ini terjadi karena keterbatasan di lokasi tadi, sehingga membuat sudut pandang kamera tidak beragam. Namun tetap saja, penonton ingin sesuatu yang lebih layak dari film dengan treatment kelas sinetron di bioskop.

Review One Fine Day: Cinta Bersemi di Barcelona

Dari departemen akting, Jefri Nichol sebagai protagonis pria tampil biasa saja. Dari mulai Dear Nathan (2017) hingga A: Aku, Benci, & Cinta (2017), Nichol masih memerankan tokoh remaja bengal, sedikit slengean, dan tampan. Oleh karena itu, memerankan Mahesa Si Pabrik Quote bukanlah perkara baru.

Di sisi lain, performa Michelle Ziudith adalah juaranya. Aktris 22 tahun ini berhasil menunjukkan kedalaman emosinya memerankan tokoh Alana. Akting-nya saat ia harus memilih antara Mahesa Si Pembual dengan Danu Si Anak Papa paling oke. Nichol boleh punya peran lebih mayor, tetapi ia yang justru tampak berusaha keras untuk mengimbangi Ziudith.

Kesimpulan dari review One Fine Day: mengusung konsep drama romantis, film ini dengan beberapa catatan cukup dapat menyenangkan penonton, khususnya yang memang suka film manis nan cheesy.

Apalagi formula yang digunakan masih standar dan cenderung main aman. Fans Jefri Nichol barangkali akan punya pengalaman nonton lebih baik karena film ini laksana fanservice; cerita boleh biasa saja, tetapi kalau soal Nichol, jangan dikasih kendor.

Diedit oleh Doni Jaelani

Artikel terkait

ARTIKEL TERBARU